Kerangka Acuan
Sampai saat ini masih ada penilaian bahwa budaya Jawa yang adiluhung hanya dimiliki pada masyarakat budaya Jawa negarigung, yaitu budaya yang bersumber pada wilayah keraton Jogjakarta dan Surakarta. Padahal sesungguhnya semua budaya memiliki keadiluhungannya masing-masing. Hal itu disebabkan setiap budaya yang diciptakan oleh masyarakat pemiliknya merupakan potret dari karakter masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Ini pun dijumpai pada budaya Banyumasan.
Budaya Banyumas sebagai bagian dari budaya Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan sub-sub budaya Jawa lainnya. Perbedaan budaya Banyumas bisa terlihat pada dimensi budaya, seni, pakaian, makanan, bahasa, arsitektur, senjata tradisional dan adat istiadat. Dengan mencermati keenam dimensi budaya tersebut maka dapat diketahui bahwa karakteristik budaya Banyumas bercorak agraris kerakyatan.
Corak agraris kerakyatan budaya Banyumas yang terpancar pada dimensi seni antara lain dapat dilihat pada berbagai hasil seni yang ada di wilayah kebudayaan Banyumas. Misalnya, dalam hal seni pertunjukan tidak ada jarak antara penonton dengan pelaku seni, contohnya: lengger, calung, ebeg dan lain-lain. Juga tampak pada seni batik yang motif dan warnanya menggambarkan agraris kerakyatan. Motif tersebut antara lain : lumbon (daun lumbu) yang bagi masyarakat Banyumas sendiri daun lumbu dipakai sebagai bahan dasar makanan buntil. Motif jahean (jahe) dan jahe oleh masyarakat Banyumas jahe digunakan untuk campuran bumbu pada masakan tertentu dan bahan obat-obatan.
Selain itu, corak agraris kerakyatan tersebut juga terlihat dalam perilaku masyarakat Banyumas seperti: sederhana, tulus, setara, jujur, cablaka, setiakawan dan rukun. Warna-warna perilaku itu bisa dilihat pada perilaku kesehariannya orang Banyumas yang senantiasa menjaga harmoni kebersamaan, tanpa jarak dalam hidup bermasyarakat, akomodatif terhadap pendatang dan setia kepada pimpinan. Semangat yang seperti inilah membuat situasi dan kondisi masyarakat Banyumas cenderung menghindari konflik horizontal dan vertikal.
Realitas sosial yang tergambar tersebut tak berarti masyarakat Banyumas statis dan tidak berkembang. Artinya, dalam menjalani hidup dan kehidupannya masyarakat Banyumas mempunyai jiwa dinamis. Hal ini terlihat pada ungkapan yang ada di bahasa Banyumasan yaitu, “Ana ongkek bisa nyekek” atau ada yang menyebut “ora ongkek ora nyekek”. Filosofi ungkapan ini menunjukan bahwa untuk bisa makan kita harus melakukan gerak badan atau kerja. Ungkapan ini menunjukkan masyarakat Banyumas memiliki etos kerja yang tinggi dan etos kerja merupakan gambaran manusia yang dinamis.
Bertolok dari realitas sosio-kultural di atas, maka membangun Kabupaten Banyumas ke depan adalah membangun wilayah Banyumas yang didasari semangat kerakyatan dan kesetaraan, dinamis serta sikap optimistik. Semangat tersebut harus menjadi etos kerja aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maupun kepada orang luar yang ingin berkontribusi untuk pembangunan di Banyumas, juga harus menjadi acuan dalam merancang tata wilayah, desain arsitektur dan aksesibilitas. Etos tersebut juga harus dimiliki oleh seluruh masyarakat Banyumas dalam hal berperilaku Kemasyarakatan termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara.
Sekarang ini hidup masyarakat Banyumas ada di tengah-tengah percaturan regional, nasional dan internasional. Dengan demikian arah pembangunan Kabupaten Banyumas harus memperhatikan tiga domain utama sebagai berikut :
Society |
Creativity |
Culture |
Pelayanan publik |
Pariwisata & ekonomi Kreatif |
Moral |
Kebutuhan dasar |
Perdagangan |
Seni |
Kesejahteraan |
Investasi |
Teknologi |
Bertolok dari uraian tersebut di atas maka kehadiran city branding sangat diperlukan. Salah satu aspek city brandingadalah logo dan tagline. Untuk itulah pemerintah Kab. Banyumas mengajak peran serta seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) guna mengikuti sayembara pembuatan logo dan tagline city branding Banyumas.